Sabtu, 18 Juli 2009

Di antara duri mawar, ada harum bunga yang bisa dihirup











Judul Novel : Kabar Bunga

Judul Resensi : Di antara duri mawar, ada harum bunga yang bisa dihirup

Penulis : Marsiraji Thahir

Penerbit : Qish-U (Kelompok Penerbit Pro-U Media)

Harga : Rp. 44.000,-


Buku setebal 492 halaman terbitan Qish-U yang berjudul Kabar Bunga ini , sangat cocok menjadi karib bagi pembacanya. Apalagi yang sedang menghadapi masalah-masalah rumit di dalam kubus kehidupan mereka.

Otomatis bukan dalam konteks fisiknya saja, tetapi jauh lebih dalam. Yaitu, tentang kisah-kisah perjalanan tiga wanita dalam mengarungi liku perjalanan hidup mereka, dimana tidak sedikit ujian yang mereka hadapi. Dalam novel ini juga, pembaca akan menemui potongan kalimat yang akan mendongkrak dan memotivasi pembaca.

Sebagai bukti, sebut saja satu contoh kalimat yang diucapkan Wulan dalam novel ini, “jangan pernah dikira sendiri berarti satu orang, ada Allah yang temani..” [halaman 82] , Bagaimana? Bisa dibayangkan bukan, karakter dari novel ini?, tentu tidak hanya kalimat ini tentunya, masih banyak kutipan kalimat lain, yang dapat menggugah semangat pembaca dalam menghadapi berbagai rupa ujian ataupun masalah hidup, serta alur cerita dalam novel ini yang saling mendukung, yang akan memberikan banyak hikmah, semangat dan pengalaman tersendiri bagi pembaca.

Selain itu, selama mengikuti alur cerita ini, pembaca tidak hanya berperan pasif sebagai pengikut alur cerita, tetapi pembaca akan terlibat lebih jauh lagi, pembaca akan turut merasakan, dan memahami kepingan-kepingan peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam novel. Seolah-olah, pembaca turut serta dalam kisah tersebut. Dari cerita yang ditawarkan, saya yakin pembaca akan menemukan banyak poin lebih dari Wulan yang religius, Asih yang tegar, dan Sabrina yang mandiri.

**

Adalah Wulan, tokoh yang mengawali cerita dalam novel ini. Dengan perasaan terpaksa, ia membawa setumpuk harapan besar akan Jakarta, bahwa di sana ia akan mengeruk ‘pundi-pundi’ untuk menutupi hutang-hutang Pak Handoko, sekaligus membiayai sekolah Ratih.

Meski pahit yang menyambut awal perjalanan Wulan di Jakarta, akan tetapi tujuan awal Wulan tetap menghangat di hatinya, demi Pak Handoko dan Ratih, ia berusaha melewati dan seolah tidak menghiraukan ujian dan kemalangan yang datang bertubi-tubi.

Kemudian, Asih yang juga menjadi bagian dari kemalangan dan penderitaan kehidupannya. Meski demikian, ia tetap tegar, walaupun dalam memorinya masih terasa berat tumpukan-tumpukan rasa pahit, saat kedua orang tuanya tega ‘menjualnya’ demi melanjutkan hidup di Jakarta. Dan menanggung kekecewaan mendalam kepada seorang laki-laki yang pergi meninggalkan diri dan janin yang ada di rahimnya tanpa rasa tanggung jawab.

Tokoh lain, adalah Sabrina, yang melengkapi rangkaian alur cerita novel ini. Kemalangan yang dialami Sabrina sedikit berbeda dari tokoh lainnya yang memiliki kisah pahit yang disebabkan oleh permasalahan sulit ekonomi keluarga. Sabrina justru sangat berkecukupan, namun ada yang tidak pernah ia dapat, kasih sayang dari orang tuanya. Hal inilah yang pada akhirnya membuat Sabrina pergi dan meninggalkan Ibunya. Pada Ibunyala, yang setiap hari selalu ia taruh harapan padanya untuk sedikit saja memberi kebahagiaan yang tulus, bukan sandiwara.

**

Banyak pertanyaan yang membumbung di atas kepala mereka, Wulan yang tidak pernah mengerti keberadaan dan wajah ibunya sejak lahir. Asih, yang dirundung kegalauan, apakah Sapto – anaknya – akan bertemu dengan ayahnya? Dan mengapa kedua orang tuanya tega ‘menjual’-nya?. Sabrina, apakah ia akan menemukan satu jawaban, mengapa ia tidak pernah mendapat kasih sayang tulus dari ibunya?.

Lalu, bagaimanakah akhir kisah mereka?, apakah bulatan-bulatan pertanyaan itu yang akan mempertemukan mereka berada pada satu titik terang?, ataukah mereka tetap akan terpisah dengan narasi yang berbeda, dan menemukan jawaban dari pertanyaan yang mereka bawa masing-masing? Dan apakah jawaban yang mereka dapatkan seharum bunga?

**

Tentu menyenangkan mengikuti alur ceritra dalam novel ini, seperti ikut bersama-sama Wulan, Asih, dan Sabrina, menyusun ‘puzzle-puzzle’ yang selama ini berserakan, dan menyatukan sisi-sisi ‘kepingan puzzle’ untuk sesegera mungkin menemukan sebuah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan, yang selama ini tersimpan.

Penulis sangat mahir merangkai ketiga narasi yang dialami masing-masing tokoh, yang menciptakan variasi rangkaian yang kian menarik.

Bahasa yang digunakan penulis sangat mudah untuk dipahami. Tidak kita temukan istilah-istilah yang rumit disini. Hanya saja pembaca harus siap dengan alur ceritanya yang maju-mundur, dan pembaca dituntut memiliki daya imajinasi tinggi. Kalau saja pembaca tidak bisa mengimajinasikan cerita menjadi satu alur yang kronologis, maka pembaca akan limbung, dan kehilangan makna dari cerita ini.

Begitu pembaca sampai di akhir cerita, pembaca akan mengantongi banyak hikmah dari cerita ini.

Mungkin sesuai dengan kutipan dari Aid Al-Qarni dalam bukunya yang berjudul La tahzan :

“ ..saat kita melihat hamparan sahara tanpa batas,

ketahuilah kita akan temui kebun yang rimbun..

Ketika kita melihat tali meregang kencang,

ketahuilah bahwa tali akan segera putus..

Tangisan akan berujung pada senyuman..

Ketakutan akan berujung pada rasa aman..

Dan malam pun akan berujung pada fajar..”

**

Di antara duri mawar, masih ada harum bunga yang bisa kita hirup..

Singkat kata, bersama kesulitan akan ada kemudahan dan jalan terang…

Hal inilah yang menjadikan novel ini layak untuk dibaca oleh siapapun. (NFT/J09)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar